Sabtu, 19 November 2016



Keraban Sape (Indonesia: karapan sapi) merupakan kekayaan tradisional Madura yang diwariskan secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Berdasarkan sejarahnya, tradisi Keraban Sape dimulai pada abad ke-3 yang diinisiasi oleh Pangeran Katandur, seorang pangeran asal Sepudi, Kabupaten Sumenep. Sudah banyak tulisan yang menceritakan sejarah, proses, dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Akan tetapi, dalam tulisan ini kami hanya ingin fokus pada spirit positif yang ada dalam gelar Keraban Sape. Spirit-spirit tersebut nanti akan menjadi alasan bagi kami dalam mengambil istilah Keraban sebagai nama buletin yang akan diterbitkan secara mingguan dalam bentuk pdf ini. 

Dalam pandangan subjektif penulis, kegiatan Keraban mengandung beberapa spirit utama yang sebenarnya spirit tersebut mencerminkan karakter orang Madura. Di antara spirit yang kami maksud adalah spirit keberanian, spirit harmoni, spirit kompetisi, spirit ketangguhan, spirit kefokusan, dan spirit kerja keras. Tentu masih banyak spiritspirit lain yang terkandung dalam tradisi Keraban yang perlu dikaji lebih mendalam lagi.  


Dalam kegiatan Keraban, keberanian sangat penting dimiliki, khususnya keberanian yang dimiliki oleh joki atau tokang tongko’ (orang yang menaiki kaleles dan mendorong sapi agar lari kencang). Tanpa keberanian yang tinggi maka mustahil seseorang mau dijadikan
tokang tongko'. Sebab, taruhan tokang tongko’ adalah nyawa. Jika sapi yang dikendarai tersebut mengamuk maka bukan hal mustahil tokang tongko’ akan dilemparkan. Umumnya, orang yang menjadi tokang tongko’ adalah anak kecil. Hal ini dimaksudkan agar sapi tidak terlalu berat saat berlari. Spirit keberanian inilah yang dicerminkan sebagai karakter orang Madura. 

Keberanian yang dicerminkan dari Keraban ini adalah keberanian yang kukuh dan ajeg. Di dalam kerab, sedikit saja tokang tongko’ tergelincir dari kayu yang dipijak, maut siap menjemputnya. Dalam konteks kehidupan, orang Madura berani mempertahankan pendiriannya di mana ia berpijak. Jika orang Madura merasa benar dalam berpijak, siapa pun tidak boleh mengusiknya. Ia akan rela bertaruh nyawa kalau dipaksa mengingkari pijakan yang benar tersebut. 

Meskipun begitu keras mempertahankan pendiriannya, orang Madura juga sangat menghargai adanya harmoni, keselarasan. Dalam Keraban, hal itu dicerminkan dari dua sapi yang diadu. Sepasang sapi yang diadu harus memiliki tinggi yang setara dan kecepatan berlarinya pun harus seimbang. Sebab, apabila salah satu dari dua sapi tersebut lebih pendek atau lebih lambat daripada yang lain, maka proses kecepatan sapi berlari pasti terhambat. Tanpa adanya keseimbangan atau harmoni, ia dapat dipastikan akan kalah dalam perlombaan. 

Dari sini kemudian muncul istilah mon tak asongkel jek asola (kalau tidak memiliki kemampuan jangan bertingkah). Artinya, orang Madura berpegang teguh pada keyakinan bahwa dalam bertingkah seseorang harus sesuai dengan kapasitas dirinya. Jika tidak seimbang dengan kapasitas dirinya maka bukan tidak mungkin orang tersebut menggali kuburannya sendiri. 

Dalam konteks hubungan horisontal, spirit harmoni dicerminkan dengan persaudaraan yang kukuh. Setiap individu harus saling menjaga dan bekerja sama. Satu individu tidak boleh mendahului (dalam arti sombong) daripada individu yang lain. Demikian juga, satu individu tidak boleh merasa lebih tinggi daripada individu yang lain. Semuanya harus bekerja sama, harus seimbang. Ini juga tercermin dalam budaya taneyan lanjeng yang ada di tengah-tengah masyarakat Madura. 

Akan tetapi, teguhnya memegang spirit harmoni tidak berarti orang Madura stagnan. Justru ia terus bergerak maju secara bersama-sama, secara gotongroyong. Orang Madura memiliki sifat malu yang tinggi. Apabila ia lebih rendah daripada orang lain, orang Madura merasa malu sehingga terpacu untuk meningkatkan dirinya agar bisa sejajar atau mungkin lebih tinggi. Inilah spirit kompetisi yang dicerminkan dari perlombaan Keraban Sape.  

Spirit ini membuat orang Madura semakin berani mengambil berbagai tantangan. Orang Madura tidak takut untuk merantau demi memperbaiki posisinya. Orang Madura selalu gigih dalam berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan kehidupan ini. Sampai-sampai muncul istilah, kemana engkau pergi, di situ pasti ada orang Madura. Di berbagai provinsi di Indonesia atau bahkan di luar negeri, orang Madura tersebar.

Di mana orang Madura berada, ia dikenal sebagai orang yang tangguh. Orang Madura selalu gigih untuk survive di mana pun. Sebagaimana sapi karapan yang merupakan sapi-sapi pilihan yang tangguh. Agar sapi karapan dapat berlari kencang, bokongnya dilukai dengan paku kemudian diolesi sambal atau balsem. Terlepas dari pro-kontra hukumnya, rasa sakit yang dialami sapi tersebut bukan membuat sapi berhenti berlari tapi justru membuat sapi berlari semakin kencang.  

Orang Madura juga memiliki spirit yang sama. Semakin ia ditekan, bukan membuat orang Madura menyerah. Justru ia semakin gigih mencari celah untuk bangkit dan melawan. Baik ketangguhan secara fisik maupun ketangguhan dalam berpikir membuat orang Madura termasuk orang yang diperhitungkan pada masa kerajaan Majapahit. Pemikiran-pemikiran orang Madura selalu dijadikan pertimbangan oleh raja dalam membuat keputusan. 

Semua spirit itu tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak memiliki fokus tujuan atau visi yang jelas. Dalam Keraban, semua sapi harus berlari lurus menuju titik finish. Sapi tidak boleh berlari keluar dari garis karena hal itu akan membuat sapi bertabrakan dengan sapi-sapi lain. Agar sapi-sapi tersebut bisa fokus pada tunjuan biasanya satu mata sapi ditutup dengan kain. Ini adalah untuk menjaga komitmen agar tetap fokus pada tujuan.

Hal yang sama juga berlaku bagi orang Madura. Meskipun memiliki keberanian atau kerja sama, tapi jika orang Madura tidak memiliki tujuan yang jelas maka orang tersebut pasti akan merugi. Ia tidak akan dapat memenangkan persaingan dalam kehidupan ini. Ia hanya akan berputarputar di tempat (stagnan). Oleh karena itu, jiwa visioner harus selalu muncul dan dikembangkan dalam diri orang Madura.
 
Di samping itu, untuk mencapai tujuan tersebut tentu dibutuhkan kerja keras. Kerja keras untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kerja keras untuk menyatukan semua spirit agar bisa bergerak seirama. Tanpa ada kerja keras yang sungguh-sungguh maka tujuan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Dengan basis ekonomi pertanian dan nelayan, kerja keras orang Madura sudah bukan hal asing lagi. 

Berbagai spirit yang kompleks, utuh, dan menyeluruh tersebut yang menjadi landasan bagi kami untuk memilih istilah Keraban sebagai nama dari buletin ini. Harapannya, buletin ini dapat memiliki spirit yang sama dengan spirit yang terkandung dalam Keraban. Tulisantulisan yang dimuat dalam buletin ini dapat mencerminkan atau paling tidak menumbuhkan spirit-spirit di atas.

Buletin Keraban
Buletin Keraban merupakan aktualisasi dari kegelisahan dua orang. Pertama, Syaiful Rahman, seorang pemuda asli Madura atau lebih tepatnya dari Desa Batang-Batang Daya, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Madura. Ia menyukai dunia kepenulisan dan ingin memberikan sumbangsih pemikiran melalui tulisan untuk tanah kelahirannya. Kini ia masih menjadi mahasiswa di jurusan Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Surabaya.  

Kedua, Nurul Aini, seorang perempuan alumni jurusan Manajemen Universitas Wiraraja Madura. Perempuan ini keturunan Bekasi, Jakarta. Akan tetapi, sejak menginjakkan kakinya di tanah Sumenep pada tahun 2014, ia sudah memiliki kepedulian terhadap Madura. Kepedulian tersebut terus tumbuh-berkembang namun tidak memiliki wadah yang tepat untuk mengekspresikannya. Ia juga sangat suka dalam dunia kepenulisan dan ingin menulis tentang Madura. 

Karena kesamaan tersebut, memiliki kepedulian terhadap Madura dan menyukai dunia kepenulisan, lahirlah ide untuk membuat media. Media tersebut akan memotret dan memberikan opini terhadap segala sesuatu tentang Madura, baik perkembangan sosial, politik, budaya, ekonomi, maupun adatistiadat yang ada di Madura. Hal yang paling penting adalah dua orang inisiator itu memiliki latar belakang yang berbeda. Dengan demikian, akan kelihatan bagaimana anak kelahiran Madura memandang Madura dan bagaimana anak kelahiran luar Madura memandang Madura. Tentu ini akan sangat bermanfaat bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap Madura. 
 
Buletin yang diinisiasi pada Selasa, 15 November 2016 melalui WhatsApp ini diterbitkan dalam bentuk pdf dan disebar melalui berbagai media sosial. Harapannya semua orang dapat membaca tulisan-tulisan yang akan diterbitkan setiap minggu dengan cara mengunduh (download) melalui website yang telah disediakan. Rencananya, buletin ini akan diterbitkan setiap hari Senin dengan konten satu tulisan. Terbitan perdana diluncurkan pada Senin, 21 November 2016. Selain dua orang tersebut, Buletin Keraban juga akan menerima tulisan dari kontributor dengan tema Madura. 

Selain itu, kami atas nama kru Buletin Keraban mengucapkan terima kasih kepada M. Afiq Luthfil Hadi, seorang sahabat saya di jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membuatkan desain logo dan kop untuk buletin ini. Untuk Moh. Junaidi, suami Nurul Aini, kami juga sangat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah mendukung dan bersedia membantu kami membuat website untuk Buletin Keraban.

Demikian dari kami. Kami tahu bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan Buletin Keraban sangat kami harapkan.
Semoga bermanfaat! 

0 komentar:

Posting Komentar

SUSUNAN REDAKSI

Diberdayakan oleh Blogger.

Kontributor

Iklan lagi

Iklan Anda

Popular Posts

Iklan Pole